Senin, 13 Juli 2015

MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI I





Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih
Ahmad Asy-Syami
Sewaktu kecil , ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa
pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku
berjalan menuju madrasah dan membuat
teman-temanku selalu mengutamakan diriku
seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku
peroleh lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu. Aku tak
tak pernah mengenali pemuda itu. Di
saat yang lain, ketika aku bertanya
kepadanya, ia menjawab: “Aku adalah
malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku
untuk melindungimu selama engkau belajar.” Itulah sepenggal kisah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani tentang pengalamannya pada masa
kecil. Kelahiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Beliau
lahir pada tahun 470 H. (1077-1078 M) di
al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini
termasuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada
putranya bahwa ia berusia 18 tahun ketika
tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya
seorang ulama terkenal , at-Tamimi, pada
tahun 488 H. Tahun itu juga bertepatan dengan
keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk
meninggalkan tugasnya mengajar di
Universitas Nidzamiah, Baghdad. Sang imam
ternyata lebih memilih uzlah. Penentuan Awal
Ramadhan Melalui Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani saat Balitanya Ibunya, Ummul Khair Fatimah binti Syaikh
Abdullah Sumi, adalah keturunan Rasulullah
Saw. Beliau pernah menuturkan: “Anakku ,
Abdul Qadir , lahir di bulan Ramadhan. Pada
siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak
pernah mau diberi makan.” Dikisahkan pada suatu Ramadhan ketika Abdul
Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat
melihat hilal karena tertutup awan. Akhirnya
untuk menentukan awal puasa, mereka
mendatangi rumah Ummul Khair dan
menanyakan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui bayi itu tak mau
makan, mereka yakin bahwa Ramadhan telah
tiba. Dalam kesempatan lain Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bercerita: “Setiap kali terlintas
keinginan untuk bermain bersama teman-
temanku, aku selalu mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku
wahai hamba yang dirahmati.” Karena takut, aku
berlari ke dalam pelukan ibu. Kini,
meskipun aku beribadah dan berkhalwat
dengan khusyuk, aku tak pernah bisa
mendengar suara itu sejelas dulu.” Tauladan Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani Ketika ditanya mengenai apa yang
menghantarkanny a kepada maqam ruhani yang tinggi, beliau menjawab: “Kejujuran
yang pernah kujanjikan kepada ibuku.”
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menuturkan kisah berikut: “Pada suatu pagi di hari
raya Idul Adha, aku
pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba
hewan itu menoleh dan memandangku, lalu
berkata: “Kau tercipta bukan untuk hal
semacam ini.” Mendengar hewan itu berkata- kata,
aku sangat ketakutan. Aku segera
berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas
para jamaah haji sedang wukuf di Arafah. Kudatangi
ibuku dan memohon kepadanya:
“Izinkanlah aku menempuh jalan kebenaran,
biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para
bijak bestari dan orang-orang yang dekat dengan allah.” Ketika ibuku menanyakan alasan
keinginanku
yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi.
Mendengar penuturanku, ia menangis dengan
sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh
keping emas, harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk
saudaraku. Empat puluh keping lainnya
dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia
memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat
agar aku selalu bersikap jujur apapun yang
terjadi. Sebelum berpisah ibuku berkata: “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu.
Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah.
Aku sadar aku takkan bertemu lagi denganmu
hingga hari kiamat.” Aku ikut kafilah kecil menuju
Baghdad. Baru
saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri atas
enam puluh orang berkuda, menghadang
kami. Mereka merampas semua anggota
kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan
bertanya: “Anak muda apa yang kau
miliki?” Kukatakan bahwa aku punya empat puluh keping emas. Ia bertanya lagi: “Di mana?”
Kukatakan di
bawah ketiakku. Ia tertawa-tawa dan pergi
meninggalkanku.
Perampok lainnya menghampiriku dan
menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun
pergi sambil tertawa-tawa mengejek. Kedua
perampok itu mungkin melaporkanku
kepada pimpinannya, karena tak lama
kemudian pimpinan gerombolan itu
memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil rampokan. Si
pimpinan bertanya apakah aku memiliki harta.
Kujawab bahwa aku punya empat puluh
keping emas yang dijahitkan di bagian lengan
mantelku. Akhirnya ia menyobeknya dan ia temukan
keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya: “Mengapa engkau meberi tahu
kami, padahal hartamu itu aman
tersembunyi?” Jawabku: “Aku harus berkata jujur
karena
telah berjanji kepada ibuku untuk selalu
bersikap jujur.” Mendengar jawabanku, pimpinan perampok
itu tersungkur menangis. Ia berkata: “Aku
ingat janjiku kepada Dia yang telah
menciptakanku. Selama ini aku telah
merampas harta orang dan membunuh. Betapa
besar bencana yang akan menimpaku!?” Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu
berkata: “Kau memimpin kami dalam dosa.
Kini, pimpinlah kami dalam taubat!” Keenam puluh
orang itu memegang tanganku
dan bertaubat. Mereka adalah sekelompok
pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.
Perjumpaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
dengan Nabi Khidhir di Baghdad Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berusia delapan
belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di
gerbang kota, Nabi Khidhir muncul dan melarangnya memasuki kota. Nabi Khidhir
mengatakan bahwa Allah melarangnya
memasuki kota itu selama enam tahun. Kemudian
Nabi Khidhir membawanya ke
sebuah bangunan tua dan berkata:
“Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini.” Akhirnya beliau menetap
di sana selama tiga
tahun. Setiap tahun Nabi Khidhir datang dan
memerintahkanny a menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani bercerita: “Selama menetap di
padang pasir di luar
Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah
keindahan dunia. Semuanya menggodaku.
Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan
rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik,
bahkan menyerangku. Allah selalu
menjadikanku sebagai pemenang. Hawa nafsuku pun
datang setiap hari dengan
paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak,
ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai
pemenang dalam peperangan tanpa henti itu.
Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku
selama bertahun-tahun dan
memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu. Selama beberapa tahun aku hanya
makan
rerumputan dan akar-akaran yang dapat
kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah
minum. Tahun berikutnya aku hanya minum
tanpa makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku
tinggal di bangunan tua istana raja-raja
Persia di Karkh. Aku berjalan bertelanjang kaki di atas
duri-
duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa.
Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku merasa mendakinya. Tak sedikitpun
kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku
untuk beristirahat atau merasa nyaman. Pada akhir
tahun ketujuh, pada suatu malam,
aku mendengar satu suara menyeru: “Hai
Abdul Qadir kini kau dapat memasuki Baghdad.” Akhirnya kumasuki kota Baghdad dan
tinggal
beberapa hari. Namun, aku tak tahan
menyaksikan kemaksiatan, kesesatan dan
kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar
terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad dengan hanya membawa al-
Quran. Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk
kembali menyendiri di padang sahara,
kudengar satu suara berbisik: “Ke mana kau
akan pergi? Kembalilah. Kau harus menolong
masyarakat.” “Kenapa harus kupedulikan orang- orang
bobrok itu? Aku harus melindungi imanku!”
Seruku lantang. “Kembalilah, dan jangan
khawatirkan
imanmu.” Bisikan suara itu terdengar lagi.
“Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak dapat
melihat siapa gerangan yang berbicara itu. Kemudian
sesuatu terjadi atas diriku. Entah
apa yang mendorongku, tiba-tiba aku
bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah
semoga Dia berkenan membuka tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus aku
lakukan. Awal Mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Belajar Tasawuf Hari berikutnya, ketika aku
mengembara di
pinggiran kota Baghdad, di sekitar
Mudzafariyah, seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu
rumahnya dan memanggilku: “Hai Abdul
Qadir.” Ketika berada tepat di depan pintu
rumahnya,
ia berkata: “Katakan padaku apa yang kau
minta kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?” Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan
jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-
tiba membanting pintu dengan sangat keras
sehingga debu-debu berterbangan dan
mengotori nyaris seluruh tubuhku. Aku pergi, sambil
bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku
berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah
itu untuk memberikan jawaban. Namun,
rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun
orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat dengan Allah.
Kelak , aku mengetahui bahwa orang itu
adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang
kemudian menjadi guruku. Pada suatu malam yang
dingin, di tengah
guyuran hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke padepokan
tasawuf milik Syaikh Hammad bin Muslim ad-
Dabbas. Pimpinan padepokan itu mengetahui
kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani melalui
ilham. Syaikh Hammad memerintah
agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan. Setibanya di depan pintu padepokan,
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang
hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam
tidurnya beliau berhadats besar sehingga
beliau pergi untuk mandi dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali beliau tertidur dan
berhadats lagi, hingga tujuh kali dalam
semalam. Tujuh kali beliau mandi dan
berwudhu dengan air yang nyaris
membekukan tubuh. Keesokan paginya, pintu
padepokan dibuka dan beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh
Hammad bangkit untuk mengucapkan salam
kepada beliau. Dengan penuh suka cita, Syaikh
Hammad memeluk beliau dan berkata:
“Anakku, abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik
kami. Esok, engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan jalan ini.” Syaikh Hammad
menjadi guru pertama beliau
dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh
Hammad itulah beliau bersumpah dan
memasuki jalan thariqah. Mengenai hal ini,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita: “Aku belajar kepada banyak guru di
Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat
memahami sesuatu atau ingin mengetahui
suatu rahasia, Syaikh Hammad memberiku
penjelasan. Kadangkal aku dimintanya
mencari ilmu dari ulama lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain. Setiap kali
aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya:
“Ke mana saja kau? Selama kepergianmu,
kami mendapatkan begitu banyak makanan
yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta jiwa
dan tak sedikitpun yang kami sisakan untukmu.” Di saat yang lain ia berkata: “Demi Allah,
dari mana saja kau? Adakah orang lain di sini
yang lebih tahu (alim) daripada engkau?” Murid-
muridnya mengusikku dengan
mengatakan: “Kau adalah ahli fiqih, mahir
menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?” Syaikh Hammad menegur dan
menenangkan
mereka: “Sungguh memalukan! Aku
bersumpah, tak ada seorang pun diantara
kalian yang lebih tinggi dari tumitnya. Jika
kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) dan kalian mendukungku,
ketahuilah bahwa aku justru
akan mengujinya dan mengantarkannya
kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam
ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar
gunung.” Kesengsaraan Syaikh Abdul Qadir Al- Jailani
saat Belajar di Baghdad Semasa belajar di Baghdad,
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani pernah mengalami masa penceklik.
Semua orang merasa kesulitan, termasuk
beliau. Mengenai hal ini, beliau menuturkan: “Aku Cuma makan duri, kacang dan daun
kubis yang ada di tepian sungai dan danau.
Kesulitan lain tiba-tiba masih menyusul di
Baghdad. Kesulitan itu yaitu melambungnya
harga-harga. Ketika itu aku sampai tidak bisa
makan apa-apa. Aku bahkan harus mencari sisa makanan yang bisa dimakan. Saking
laparnya, aku lalu pergi ke danau. Aku
berharap bisa menemui daun kubis, kacang
atau apapun yang bisa dimakan. Sayangnya, setiap
kali aku pergi ke suatu
tempat , pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di sana. Ketika mendapati ada orang
fakir yang ikut mencari makanan, aku
langsung pergi. Aku malu. Aku kembali
berjalan ke tengah kota. Setiap menemukan satu biji-
bijian, aku pasti
keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di suatu masjid yang ada di pasar Raihaniyin,
Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan,
untuk untuk memegang sesuatu saja aku
sudah tidak mampu lagi. Aku lalu masuk ke dalam
masjid . Aku duduk-duduk di sana. Aku hampir mati
saat itu. Untungnya ada seorang pemuda non Arab yang juga baru
masuk ke masjid. Ia membawa kue lapis dan
roti bakar. Ia duduk lalu makan roti yang
dibawanya. Setiap kali pemuda itu hendak
memasukkan makanan ke dalam mulut, mulutku
seolah mengikuti gerak mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan
makanan. Itu aku lakukan karena terlalu
lapar. Sebetulnya aku merasa aneh dengan
apa yang aku lakukan. “Apa yang aku
lakukan ini?” kataku dalam hati. Sejurus kemudian,
pemuda itu menengok ke arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia
lalu membagi makanannya untukku. Nafsukku
terus menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia
pun membagi lagi. Akupun menerimanya. Aku
lalu memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku:
“Kamu dari mana? Namamu siapa?” “Aku pelajar dari Jailan,” jawabku. “Aku
juga dari Jailan. Apakah kamu
mengenal seorang pemuda dari Jailan yang
bernama Abdul Qadir. Ia lebih dikenal dengan
panggilan Abu Abdullah as-Sama’i az-
Zahid,” kata pemuda itu “Itu aku,” jawabku. Mendengar jawabanku, pemuda itu kaget dan
wajahnya langsung berubah. “Demi Allah,
aku sudah sampai di Baghdad semenjak tiga
hari yang lalu. Kemarin aku masih memiliki
beberapa bekal. Aku sudah bertanya ke mana-
mana tentang keberadaanmu, tetapi tidak ada yang membantuku. Akupun menghabiskan
bekalku. Selama tiga hari, aku tidak
menemukan apa yang bisa aku makankecuali
yang kita makan ini. Padahal kematian sudah
mengancamku. Aku pun memutuskan kue
lapis dan roti bakar itu aku berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu untukmu.
Sekarang aku tamumu. Sebelumnya kamu
memang tamuku.” Kata pemuda itu. Aku bertanya
padanya: “Apa itu?” “Ibumu menitipkan delapan
dinar untukmu,
aku pakai sebagian untuk membeli roti ini karena terpaksa. Aku benar-benar minta maaf
padamu.” Mendengar itu, aku pun
menenangkannya. Aku memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan
sisa makanan dan sedikit emas. Dia pun
menerimanya lalu pergi. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
baru sadar
bahwa ibunya selalu mengirimi beliau
sejumlah uang. Sebagiannya sampai kepada beliau, dan sebagian lagi tidak sampai.
Baghdad teralu besar dan luas. Beliau tidak
mungkin mengetahui hal serumit itu sebelumnya. Baju
Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani tampil sebagai
contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban suci
setiap muslim dan muslimat, dari buain hingga
liang lahat. Beliau mengungguli sufi terbesar
pada zamannya. Beliau hafal al-Quran dan belajar
tafsir kepada Syaikh Ali Abul Wafa al-
Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul Hasan Muhammad al-Qadhi. Menurut sebagian sumber,
beliau belajar
kepada Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali
al-Muharami, ulama besar pada zamannya di
Baghdad. Meski Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
belajar tasawuf dari Syaikh Hammad ad- Dabbas dan memasuki jalan thariqah melaluinya,
namun beliau juga dianugerahi
jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw. dari
Qadhi Abu Sa’id melalui jalur Syaikh Abul
Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul
Faraj at-Tarsusi dari at-Tamimi dari Syaikh Abubakar asy-Syibli dari Abu Qasim dari Sari as-Saqati
dari Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud
ath-Tha’I dari Habib al-A’dzami dari Hasan
al-Bashri hingga sampai kepada Sayyidina Ali
Bin abu Thalib Ra. Sayyidina Ali menerima
jubah pengabdian dari Nabi Muhammad Saw. kekasih Allah semesta alam, yang menerimanya dari
Jibril dan ia menerimanya
dari Yang Maha Besar Allah Swt. Suatu hari, seorang
bertanya kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani tentang apa yang
diperolehnya dari Allah Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak mulia.” Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani Disuwuk oleh
Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat
Kesulitan di Awal Mengajar Qadhi Abu Sa’id al-
Muharrami mengajar di
madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian ia serahkan madrasah itu kepada
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang telah
menjadi pengajar di sana. Ketika itu, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berusia lima puluh tahun.
Ucapan beliau sangat fasih dan dahsyat,
mampu memengaruhi siapa saja yang mendengarnya. Murid-murid dan jamaahnya
bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat
singkat, tak ada lagi tempat di madrasah itu
untuk menampung mereka. Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bercerita tentang saat-saat
pertama pengajarannya: “Suatu pagi aku bertemu Rasulullah Saw.
yang bertanya kepadaku: “Mengapa kau
diam saja?” Aku menjawab: “Aku orang Persia,
bagaimana aku dapat berbahasa Arab dengan
fasih di Baghdad?” “Bukalah mulutmu,” ujar
Rasulullah Saw. Aku menuruti perintahnya. Kemudian Rasulullah Saw. meniup (meludahi) mulutku
tujuh kali dan berkata: “Berdakwahlah dan
ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah
dan kata-kata yang baik.” Lalu aku shalat Dzuhur
dan beranjak menemui
orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat mereka, aku gugup.
Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat
Imam Ali mendekatiku dan memintaku
membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke
mulutku sebanyak enam kali. Aku
bertanya: “Mengapa tidak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?” “Karena aku
menghormati Rasulullah,” ujar
Imam Ali, dan ia berlalu. Seketika itu pula meluncur
kata-kata yang
sangat lancar dari mulutku: “Akal adalah
penyelam, yang menyelami samudera hati untuk menemukan mutiara hikmah. Jika ia
membawanya ke tepian wujudnya, ia akan
memicu pengucapan kata. Dan dengan itu ia membeli
mutiara ibadah dan pengabdian
kepada Allah.” Lalu kukatakan: “Pada suatu malam
seperti malam-malam yang kualami, jika diantara
kalian mampu menaklukkan birahinya,
kematian akan menjadi sangat indah. Sehingga
baginya, tak ada sesuatupun yang dapat
menandingi keindahannya.” Sejak saat itu dan
seterusnya, baik ketika terjaga maupun terlelap, aku senantiasa
menjalankan kewajibanku sebagai pengajar.
Ada banyak ilmu keimananan dan agama
dalam diriku. Ketika aku tak membicarakan
atau melafalkannya, aku merasa ilmu-ilmu meluncur
dengan sendirinya. Saat mulai mengajar. Hanya ada beberapa murid yang
mendengarkanku. Namun tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu
orang. Perluasan Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani Madrasah dan pondok beliau tak lagi mampu
menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan
tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin
membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu dengan harta dan orang miskin
membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita
di Baghdad pun membantu. Seorang wanita muda
yang bekerja secara
suka rela memperkenalkan suaminya yang
enggan bergotong-royon g kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Ini suamiku. Aku
telah menerima mahar darinya sebanyak dua
puluh keping emas, separuhnya akan kuberikan
kembali kepadanya dan separuh
lagi akan kubayarkan jika ia ikut bekerja di
sini.” Kata wanita itu. Lalu keping emas itu ia serahkan kepada
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki
itupun mulai bekerja. Ia pun terus bekerja
meskipun jatah maharnya telah habis. Kendati
demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tetap
membayarnya karena beliau tahu bahwa ia miskin. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka
Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama dan
imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih,
serta tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan
Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan
kutukannya selalu dikabulkan. Beliau memiliki banyak
keistimewaan. Beliau adalah manusia
sempurna yang selalu mengingat Allah,
bertafakur, merenung serta belajar dan
mengajar. Hati beliau lembut, perilaku beliau santun, dan
paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau
juga selalu bersimpati dan memelihara
perilaku yang mulia. Di mata orang-orang,
beliau tampil sebagai sosok yang berwibawa,
dermawan dan gemar memberi bantuan berupa uang, nasehat, maupun ilmu. Beliau
menyanyangi sesama, terutama kaum
mukmin yang taat dan selalu beribadah
kepada Allah. Penampilan beliau selalu terjaga
sehingga
nampak tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara berlebihan. Jika bicara, meski cepat,
setiap kata maupun suku kata beliau
terdengar jelas. Bicara beliau santun dan
hanya yang diucapkan hanya kebenaran. Beliau
sampaikan kebenaran dengan lantang
dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang lain akan memuji, mencela, mengkritik atau
bahkan memaki beliau. Ketika Khalifah al-Muqtafi
mengangkat Yahya
bin Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan),
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengkritiknya di
hadapan khalayak: “Kau telah mengangkat orang yang sangat dzalim sebagai hakim atas
kaum mukmin. Mari kita saksikan apa pembelaanmu
ketika kau dihadapkan kepada
Hakim Agung, Tuhan Semesta Alam.” Mendengar
kritikan pedas itu khalifah
gemetar dan menangis . Ia segera memecat qadhi itu. Saat itu, penduduk Baghdad mengalami
kemerosotan moral dan perilaku. Berkat
kehadiran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
banyak penduduk yang benar-benar
bertaubat, menjaga perilaku dan menjalankan
syariat Islam dengan baik. Orang-orang pun semakin mencintai dan
menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh beliau semakin meluas. Orang
shaleh mencintai beliau dan para pelaku
maksiat takut kepada beliau. Banyak orang,
termasuk raja, menteri dan kaum bijak bestari, datang meminta nasehat beliau.
Banyak kaum Yahudi dan Kristen yang masuk
Islam karena beliau. Pendeta yang Meragukan Mi’raj
Rasulullah
Saw. Dengan Ruh dan Jasadnya Ada seorang pendeta
yang sangat bijak dan berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak
pengikut. ia memiliki pengetahuan yang luas
tidak hanya mengetahui tradisi Yahudi dan
Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun
mengetahui kitab suci al-Quran dan sangat
menghargai Nabi Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya dan berharap ia dan
pengikutnya masuk Islam. sebenarnya,
pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya saja, ia
masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi
Muhammad Saw. terjadi berikut raganya. Mi’raj itu
terjadi ketika Nabi Saw. diperjalankan dari Makkah ke Yerusalem
dengan jasad dan ruh beliau. Kemudian naik ke
tujuh lapis langit serta menyaksikan banyak
hal. Beliau Saw. melihat surga dan neraka, lalu
bertemu dengan Allah Swt. yang menyampaikan
sembilan ribu kata. Saat pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw.
belum mendingin dan daun yang tersentuh
dalam perjalanan belum berhenti bergoyang. Akal
sang pendeta tidak menerima peristiwa
Mi’raj itu dan segala yang disampaikan Nabi
Saw. sepulang dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika
itu yang tidak mempercayai penjelasan Nabi
Saw., dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar
menjadi ujian yang sangat berat
bagi keimanan kaum Muslimin. Karena akal
tidak dapat menerima fenomena serupa itu. Khalifah mengundang para bijak bestari dan
para syaikh untuk menyakinkan si pendeta.
Namun tak ada satupun yang mampu.
Kemudian pada suatu sore, ia memohon
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk
menyakinkan si pendeta mengenai kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
datang ke
istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain
catur. Saat pendeta mengangkat sebuah bidak
catur, tiba-tiba matanya beradu pandang
dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta memejamkan matanya. Ketika membuka
mata, tiba-tiba ia berada di sebuah
sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang
deras. Ia berteriak minta tolong. Seorang
penggembala pemuda lompat ke
sungai menyelamatkanny a. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak
berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi
seorang gadis. Si penggembala menariknya
keluar dan serta-merta menanyakan keluarga dan
rumahnya. Ketika gadis itu (pendeta) menyebutkan
Baghdad, si penggembala itu mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan untuk
sampai ke sana. Si penggembala menghormati,
menjaga dan melindunginya. Namun karena
tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala
menikahinya. Dari pernikahan
itu mereka memiliki tiga orang anak. Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di
sungai yang menghanyutkanny a beberapa tahun silam, ia tergelincir dan jatuh ke air.
Ketika sadar dan membuka mata, ia dapati
dirinya duduk di hadapan khalifah, memegang
bidak catur dan masih bertatap pandang dengan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Lalu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berujar kepadanya: “Hai pendeta yang malang,
apakah saat ini kau masih enggan
mengakui?” Si pendeta yang masih ragu dan
menganggap
apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi,
menjawab: “Apa yang kau maksudkan?” “Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak
dan suamimu?” Tanya Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani seraya membuka pintu. Di depan pintu istana
itu telah berdiri si
penggembala dengan tiga orang anaknya.
Mengalami runtutan kejadian itu, si pendeta langsung menyatakan keimanan dan
mengakui kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ia dan
jamaahnya yang berjumlah sekitar lima ribu orang
masuk Islam melalui Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Allah Mencatat Tidak Akan Murka kepada
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Meskipun dikenal orang yang lembut, santun
dan penyanyang, dan selalu menepati janji jika
berurusan dengan keadilan, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani bersikap tegas. Beliau tak
pernah marah jika orang lain memperlakukan
beliau dengan buruk. Namun, jika mereka mengusik agama dan keimanan, beliau akan
sangat marah dan segera menimpakan
hukuman yang berat. Seorang syaikh kala itu, Abu
Najib as-
Suhrawardi, menceritakan: “Pada tahun 523 H,
dalam sebuah majelis yang dihadiri oleh Syaikh Hammad, guru
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani mengucapkan suatu
pernyataan besar. Saat itu juga Syaikh
Hammad menegur beliau: “Hai Abdul Qadir, kau
berbicara terlalu lancing. Aku takut murka Allah akan menimpamu.” Lalu Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani
menempelkan telapak tangan beliau ke dada
Syaikh Hammad: “Lihatlah telapak tanganku
dengan mata hatimu. Dan katakan tulisan yang
terbaca di sana.” Ketika Syaikh Hammad tak dapat menjawab,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya lalu menunjukkan kepada Syaikh
Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat
jelas: “Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah
menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia tidak akan dimurkai.” Manyaksikan itu, Syaikh Hammad
berkata:
“Takkan ada sedikitpun keburukan atas
orang yang dikaruniai janji itu dari Allah. Tak
seorang pun kesal kepadanya. Allah
merahmati siapa saja yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya. ” Para Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat Dalam riwayat
lain, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani mengatakan: “Tidak ada seorang pun
pengikutku yang mati sebelum bertaubat.
Mereka mati sebagai hamba yang beriman kepada Allah. Setiap satu orang pengikutku
yang shaleh akan menyelamatkan tujuh orang
saudaranya yang berdosa di api neraka.
Seandainya ada aib salah seorang pengikutku,
yang berada di bagian paling barat dunia, yang
akan disingkapkan secara semena-mena, maka kami, meski berada di bagian paling
timur dunia, akan menutupinya sebelum diketahui
siapapun.” “Aku dikarunia kitab. Tidak semua
orang
dapat melihatnya. Dalam kitab itu tercantum
nama para pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat Allah akan kami selamatkan
mereka. Beruntunglah orang yang pernah
bertemu denganku. Aku prihatin kepada orang-orang
yang tidak akan bertemu
denganku.” Semua orang yang dekat dengan beliau
selalu merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Seseorang pernah bertanya kepada beliau:
“Kami tahu keadaan para pengikutmu yang
shaleh dan apa yang telah disediakan bagi
mereka di hari kiamat. Namun, bagaimana dengan
pengikutmu yang berbuat maksiat?” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab:
“Para pengikutku yang shaleh setia
kepadaku. Dan aku setia untuk
menyelamatkan mereka yang berbuat
maksiat.” Seorang wanita muda pengikut Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari
ketika melintas di tempat yang sepi, seorang
laki-laki mencegat dan bermaksud
memperkosanya. Dalam keadaan tak
berdaya, wanita muda berteriak: “Wahai Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani guruku tolonglah aku!” Ketika itu di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat
beliau menghentikan wudhunya dan dengan
marah beliaupun mencopot sandalnya lalu
melemparkannya ke udara. Mereka tak
melihat jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai kepala si lelaki yang tengah
menganiaya gadis itu dan menewaskannya.
Konon, sandal itu kini masih ada di sana dan
dijaga sebagai benda suci. Sahl bin Abdullah at-Tustari
meriwayatkan
bahwa, pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad mencari-cari
guru mereka. Ke mana-mana mereka mencari
namun tak juga diketemukan. Ketika
seseorang mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berjalan ke arah sungai Tigris,
mereka bergegas ke sana. Setibanya di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berjalan di permukaan sungai. Mereka melihat
semua ikan muncul di permukaan dan
menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Peristiwa ini
terjadi pada waktu Dzuhur.
Mereka melihat permadani luas terhampar di atas kepala mereka, dan menutupi angkasa.
Pada permadani itu tertulis ayat dengan tinta
emas dan perak: “Ingatlah, sesungguhnya
para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para malaikat berkata: “Apakah kamu merasa
heran tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat
Allah dan keberkahanNya, dicurahkan atasmu
hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi
Maha Pemurah.” (QS. Hud ayat
37). Layaknya permadani terbang Nabi Sulaiman As.,
permadani itu terbang melayang lalu turun ke tanah.
Dengan rasa takjub , tenang dan tentram, orang-orang
berjalan menuju permadani itu. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan pakaian
yang indah juga melangkah ke arah permadani, lalu menjadi imam shalat. Ketika Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani mengangkat tangannya dan mengucapkan:
“Allahu Akbar,” seluruh angkasa menggemakan
kalimat yang sama. Ketika beliau shalat, para
malaikat tujuh lapis langit secara tertib mengikuti
beliau. Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah, ” sinar kehijauan memancar dari mulut beliau dan menyebar ke seluruh angkasa. Di akhir shalat, seraya
menengadahkan tangan beliau berdoa: “Ya Allah,
demi leluhurku dan kekasihMu Muhammad Saw., dan
demi para hambaMu yang bertakwa dan
mencintaiMu, jangan cabut nyawa para pengikutku
kecuali jika dosa-dosa mereka telah diampuni dan iman mereka telah disempurnakan.” Semua hadirin mendengar para malaikat bersamaan
berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti aminnya
para malaikat. Lalu mereka semua mendengar suara
dari dalam diri mereka sendiri: “Bergembiralah.
Aku telah mengabulkan doamu.” Rasulullah Saw.
bersabda: “Syaikh yang sempurna laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan sesungguhnya Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani termasuk diantara syaikh yang
sempurna yang telah membukkan pintu kebahagian
dunia ini untuk para pengikutnya dan pintu surga di
akherat kelak.” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah
berhasil menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi manusia sempurna berkat ilham dan perintah
Nabi Saw. Beliau menjadi guru yang punya hubungan
kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani Nabi
Muhammad Saw.