Senin, 13 Juli 2015

MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI II




Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Mengadu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat orang
istri, yang semuanya sangat setia dan taat kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-laki dan 22
perempuan.
Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan
berkata: “Wahai pemilik akhlak yang mulia, anak
bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang
yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat
berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan urusanmu
seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau adalah
pemimpin, pembimbing dan harapan kami di dunia
maupun di akherat. Tetapi, hatimu sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar kepadamu di hari
kiamat dan berharap kau dapat menyelamatkan
kami?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Sahabat-
sahaba tku tercinta, jangan pernah mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir karena kekafiran
mereka. Aku mengasihi anjing yang menggigitku dan
berdoa kepada Allah agar tidak menggigit orang lain
dimana mereka akan melemparinya dengan batu.
Tidaklah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih
sayang dari orang yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”
Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi bahkan
kepada anjing yang menggigitmu, tetapi mengapa
engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu yang
telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Duh sahabat- sahabat ku yang malang, kau menangis karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau melihat
anakmu dalam mimpi duniawi dan kau kehilangan dia
dalam mimpi yang lain. Allah berfirman: “Dunia ini
adalah mimpi.” Dunia ini adalah mimpi bagi orang-
orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku
melihat anakku ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari lingkaran itu. Aku
masih melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang
bermain di dekatkku persis seperti saat-saat
sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan
mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun mati,
kebenaran tidak akan pernah hilang.” Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan kaki di
padang pasir dan saat itu padang pasir benar-benar
panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba sekumpulan
awan muncul di atas kepala, seperti payung yang
melindungi kami dari terik matahari. Di depan kami
muncul sebuah mati air yang jernih dan sebatang
pohon kurma penuh dengan buah yang telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara: “Hai
umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan dan
minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa yang
kuharamkan atas orang lain.”
Para pengikutku yang berada di depanku berlarian
menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku berteriak menghentikan mereka. Kutantang sinar itu seraya
berteriak: “Aku berlindung kepada Allah dari setan
yang terkutuk!”
Seketika, awan, cahaya, mata air dan pohon kurma
itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami dengan
rupa yang sangat buruk. Ia bertanya: “Bagaimana kau mengenaliku?”
Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir dari
rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah dalam
bentuk suara yang dapat didengar telinga. Selain itu,
aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan berlaku atas
semua orang. Dia takkan mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi sekelompok orang
yang disukaiNya.”
Mendengar ucapanku, setan menggoda agar aku
menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku telah
memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini.
Sungguh ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi daripada nabi.”
Kemudian setan itu menunjuk ke arah pengikutku dan
berkata: “Hanya sebanyak inikah pengikutmu?
Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu
karena kau laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku berlindung darimu kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Bukan ilmu atau kebijaksanaanku yang dapat menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memandang bahwa
segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau melakukan
segala sesuatu hanya karena Allah, dan tidak
menisbatkan sesuatupun pada makhluk, termasuk
kepada beliau sendiri. Beliau selalu mengerjakan apa yang beliau katakan. Beliau anggap sama, baik pujian
atau cercaan, manfaat atau mudharat. Ilmu beliau
luas dan kebijaksanaan tinggi, bagi beliau, orang
berilmu dan tak mengamalkan ilmunya laksana
keledai yang membawa buku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat Salah seorang syaikh yang sezaman dengan beliau,
yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-Mubarak al-
Wasithi, meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bersama beberapa muridku. Aku membawa sebuah
buku filsafat. Beliau menyalami dan memandang kami lalu berkata kepadaku: “Betapa kotor dan buruknya
sahabat yang kau genggam itu. Pergi dan cucilah
tanganmu.”
Aku terkejut mendengar ucapan marah Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau mengetahui isi
buku yang memang kusukai dan nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri dan menyembunyikan
buku itu di suatu tempat untuk diambil kembali saat
pulang.
Baru saja aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat berdiri.
Beliau memintaku menyerahkan buku itu. Sebelum kuberikan, aku membukanya untuk terakhir kali.
Namun, tak ada satupun hurup yang kulihat.
Semuanya kosong. Putih. Semua yang tertulis di sana
telah hilang.
Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang ada
di dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepadaku seraya berkata: “Inilah keutamaan al-Quran yang
ditulis oleh Daris.”
Kuterima dan kubuka buku itu. Ternyata, buku filsafat
itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran karya Ibn
Daris, dengan tulisan yang sangat indah. Kemudian
beliau berkata: “Maukah kau bertaubat dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu filsafatku
luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah. Tak satu pun
kata mengenainya yang tersisa dalam fikiranku.” Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca Pikiran
Para Muridnya
Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul
dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap dapat
mendengarkan ceramah beliau. Namun, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani duduk sangat lama tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga duduk menanti dengan
tenang.
Tiba-tiba mereka diliputi kenikmatan. Pikiran dan
imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu semuanya
secara berbarengan memikirkan hal sama: “Apa
yang tengah dipikirkan syaikh.” Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran mereka,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Baru saja
seseorang tiba-tiba datang dari Makkah bertaubat di
depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang
dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di
udara adalah satu hal, namun merasakan cinta adalah
hal lain. Aku telah mengajarinya bagaimana
mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa ketika itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid di
madrasah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu hari,
aku melihatnya pergi meninggalkan rumah dengan
tongkat di tangannya. Aku berkata dalam hati:
“Andai saja ia memperlihatkan keajaiban melalui
tongkat itu.” Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu
mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba tongkat
berubah menjadi cahaya yang memancar ke langit,
menyinari segalanya selama satu jam. Kemudian ia
memegang cahaya itu, dan seketika berubah kembali
menjadi tongkat. Beliau memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah yang kau inginkan?”
Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang Yahudi
dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari seratus ribu
bajingan, penjahat, pembunuh, pencuri dan perampok
bertaubat dan menjadi orang shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau mencapai keutamaan
itu:
“Selama 25 tahun aku berkelana di padang sahara
Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12
tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di
Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa aku
tidak akan makan dan minum sebelum meraih
kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang datang membawa
setumpuk roti dan makanan, kemudian
meletakkannya di depanku. Lalu ia menghilang. Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati. Mengapa
kau tidak makan?” Tetapi aku tidak melanggar
sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di hadapanku.
Ia mendengar jeritan lapar tubuhku, meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku dan ketika melihat
keadaanku yang lemah, ia berkata: “Apa yang
kulihat dan kudengar ini, wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan
hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara nafsu
yang menantang dan tidak setia. Padahal jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan gembira,
tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta
Abu Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata:
“Aku takkan meninggalkan tempat ini hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan berkata:
“Pergilah dan ikutlah bersama Abu Sa’id.”
Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke Baghdad,
ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia sedang
menungguku di depan pintu. “Aku telah memintamu untuk dating,” katanya. Lalu ia memberiku jubah
darwis. Sejak saat itu, aku tak pernah
meninggalkannya . Selama 40 tahun aku tak pernah tidur malam. Aku
mendirikan shalat dengan wudhu shalat Tahajudku .
Aku membaca al-Quran setiap malam untuk
menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan satu kaki
dan bersandar ke dinding dengan satu tangan. Aku
tidak beranjak dari posisiku hingga khatam al-Quran. Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara
akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku:
“Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu untuk
tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu
kehidupan. Karena itu, meskipun kau hidup, kau tidak
mengenal kami.” Suatu hari, seseorang bertanya: “Wahai Abdul Qadir,
kami mendirikan shalat, berpuasa dan menaklukkan
nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak menerima
tingkatan ruhani yang tinggi dan mendapatkan
karamah sepertimu?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas saja, kau hanya berusaha menyaingiku dalam amal.
Kau kira telah melakukan apa yang kulakukan,
padahal kau hanya meniruku. Kau mencerca Allah
karena tidak memberimu imbalan yang sama. Allah
adalah saksiku ketika aku tak makan dan tak minum
kecuali jika Penciptaku memerintahkanku . Makan dan minumlah, kau berhak atasnya karena aku dan
demi tubuh yang telah kuberikan kepadamu. Tak
pernah kulakukan sesuatupun tanpa perintah
Tuhanku.”
Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: “Bersama ribuan
orang lainnya, aku berkumpul untuk mendengarkan
ceramah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di tempat
terbuka. Ketika ia berbicara, hujan turun lebat dan
sebagian orang mulai meninggalkan majelis. Langit
tertutup awan pekat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya
Allah, aku telah berusaha mengumpulkan manusia
demi Engkau, apakah Engkau menjauhkan mereka
dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Tak ada
setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selesai berceramah, meskipun di luar tempat
kami berkumpul hujan turun dengan derasnya.
Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam
termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia bangga telah
memiliki dunia dan banyak orang yang bekerja
kepadanya, ia mengira dapat menguasi dan
memerintah mereka untuk melakukan apa saja
sesenang hatinya.
Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
mengingkari karamahnya. Ia menuturkan
pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian ketahui, aku tak pernah
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun
kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki apapun yang aku inginkan, aku tak pernah merasa
puas senang dan tenang.
Pada suatu Jum’at, ketika aku lewat di dekat
madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata
dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang
telah menarik perhatian banyak orang melalui karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di
masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek
menerobos kerumunan orang dan kuperoleh tempat
persis di bawah mimbar. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mulai menyampaikan khutbahnya dan apapun yang dikatakannya membuatku jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas ingin buang hajat. Tetapi
aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut dan
sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat
kutahan.perasaa n jengkelku kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena
malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar dan berdiri di
atasku. Seraya berkhutbah, ia menutupiku dengan
bagian bawah jubahnya. Tiba-tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau dan indah. Kulihat
sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih.
Segera saja aku buang hajat lalu membersihkan diri
dan berwudhu. Setelah itu, kudapati diriku kembali
berada di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Ia pun kembali ke atas mimbar. Aku sangat takjub. Tidak hanya perutku yang merasa
nyaman, hatiku pun merasa tentram, semua
kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna sudah.
Usai shalat, aku keluar dari masjid dan pulang. Di
tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku hilang.
Aku kembali ke masjid dan mencarinya, namun tak kutemukan.
Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan
niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami tiba di
sebuah lembah yang sangat indah. Seakan-akan
dituntun ke tepi sungai yang sangat jernih. Aku
langsung teringat bahwa di sinilah aku buang hajat dan membersihkan diri. Kini, sekali lagi kubersihkan
diri. Dan ternyataa, di sana kutemukan kembali kunci
lemariku. Sekembali ke Baghdad, aku menjadi
pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan Tulang
Belulang Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani, seorang perempuan dari Baghdad
memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada
beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku
kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri, dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan mulai
mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan
penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat
keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus, pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah dan
meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi,
duduk di ruang yang menyenangkan dan tengah
memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang malang yang kutitipkan kepadamu tengah
mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan tangannya di
atas tulang ayam lalu berkata: “Dengan nama Allah
yang membangkitkan tulang dari debu, hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata: “Tidak ada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan
Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menoleh ke arah
perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat
melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi
Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada
zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin Harb, yang
menuturkan kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah
mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan
dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang dan
khusyuk, perasaan yang tak pernah kami alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk ke
arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah seorang muridnya, Syaikh
Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh Abdul Qadir al- Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani ke lehernya, lalu kami semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu
Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku, aku melihat semua wali di dunia berdiri di
hadapannya, menutup seluruh penglihatanku. Semua
yang hidup hadir secara jasmani, semua wali yang
sudah meninggal hadir secara ruhani, langit dipenuhi
malaikat dan makhluk ghaib lainnya. Sejumlah
malaikat turun dan memberi jubah Rasulullah kepadanya. Lalu kami mendengar suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan pembimbing agama,
wahai pengamal firman Allah Yang Maha Pengasih,
wahai pewaris kitab suci, penerus Rasulullah, wahai
orang yang diserahkan kepadanya kekuatan langit
dan bumi, yang doanya dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan turun, wahai yang dicintai dan
dimuliakan seluruh makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan
ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada di
hadapan beliau, melainkan semua ulama merasakan
bertambahnya ilmu mereka, kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan ruhani
mereka.
Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia Islam,
semua syaikh dan guru bersujud untuk menghormati
dan menerima kepemimpinannya . Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada beliau untuk
bertaubat dan disucikan kembali. Para bajingan,
pencuri dan penjahat datang kepada beliau lalu
menjadi pengikut beliau. Dan beliau menjadi pusat
kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17 orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak, 40
di Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di Abissinia, 7
di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah terpencil di gunung
Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan Ma’juj, dan 24 di
belahan dunia lainnya hingga di lautan. Semuanya
patuh dan tunduk, kecuali satu orang Persia. Syaikh Persia Kuwalat karena Kesombongannya
kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah. Ia
mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun dan
terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah haji ke
Makkah. Ia sangat mendambakan ridha Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan diri bersama
empat ratus orang muridnya, yang dilatih siang dan
malam untuk menyempurnakan diri. Ia banyak
memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sampai
kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah haji bersama murid-muridnya, di kota suci Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani atau
mengagungkan dirinya sendiri, ia menolak
menghormati dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani.
Malam harinya, ia bermimpi meninggalkan Makkah
menuju Bizantium dan di sana ia menyembah berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia kumpulkan
semua murid-muridnya dan mengatakan ia harus
pergi ke Bizantium untuk menyingkap makna
mimpinya. Mereka mengikutinya dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis
cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat malam, matanya laksana dua purnama
dengan alis mata tebal melengkung bagaikan bulan
sabit kembar, parasnya memikat para pecinta,
bibirnya merah delima tampak basah dan lembut.
Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi. Lekat-lekat ia
menatapnya, hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada gadis itu, agama
dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan gadis itu
benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis.
Ia berdiri di depan pintu gadis kafir itu dengan mulut
terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah balkon,
berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan
menguruskan badannya tak dapat membandingkan
derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia kerahkan
segenap pengetahuan dan akalnya untuk memahami
keadaan ini, namun semua pengetahuan telah sirna
meninggalkan dirinya. Dengan rasa takut segan, murid-muridnya memohon
kepadanya untuk pergi bertaubat dan berdoa. Ia
menjawab bahwa sekira ia harus bertaubat, ia akan
bertaubat dari kebodohan telah menyisihkan dunia
dan kesenangan hanya karena agama. Jika
diharuskan berdoa, ia akan memohon kepada gadis itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab Allah dan neraka, ia
bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang
dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat
memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha keras
membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka sia-sia, mereka pun meninggalkannya . Syaikh itu diam sebulan suntuk di depan pintu pelacur
kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga
sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan bersama anjing-
anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan
berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang
membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan
kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya
agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat
menyentuh bibirmu.” “Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu.
Betapa beraninya kau menciumku sementara kau
sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi
aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu, ia tetap
berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi dan berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-sungguh
mencintaiku, kau harus keluar dari Islam, membakar
al-Quran, menyembah berhala dan minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya
meninggalkan Islam dan membakar al-Quran, tetapi
aku bersedia minum arak demi kecantikanmu.” “Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau
akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan
pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat al-
Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang
pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha
menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu menampiknya:
“Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir
sepertiku dan membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya al-
Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya
menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis itu
menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak
nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak punya
harta, bukan pula orang yang tenar. Bagaimana
mungkin gadis sepertiku mau melayani pengenis jorok sepertimu? Aku butuh , emas, perak dan sutera.
Karena kau tak punya apa-apa enyah saja kau dari
hadapanku!”
Waktu terus berlalu, ia masih saja berdiri di depan
pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis itu
menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi
penggembala babi-babiku selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.
Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir
Hayatnya
Berita sedih mengenai syaikh yang tidak menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun
tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan
dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha
menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi seorang
penggembala, ia akan menjadi penggembala
sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap orang memiliki
seribu babi, yakni seribu berhala di hatinya, yang
hanya dapat diusir dengan ketundukan dan
pertaubatan.” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi mereka
karena meninggalkan guru mereka. Kemudian Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berdoa bagi orang tua yang
sesat itu dan meminta para muridnya untuk kembali
ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium.
Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru
mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon
kepada Allah untuk memberikan pahala mereka
untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak panah doa itu melesat mencapai sasaran.
Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka
melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi. Dan
ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
memintanya menghadap, segera ia campakkan pakaian kekafiran. Air mata penyesalan mengalir
deras, dan ia angkat tangan ke langit untuk
bersyukur. Seketika itu juga semua yang telah
dilupakannya, al-Quran dan rahasia Ilahi, kembali
kepadanya. Kini ia terbebas dari kehinaan dan
kebodohan, setelah itu ia mandi berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu
bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan
mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut
agamanya, jadilah debu di kakinya. Kau yang pernah
kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke jalannya.”
Ketika bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan pada
dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan murid-
muridnya. Tanpa makan dan minum, melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, di tengah-tengah
padang sahara , ia jatuh ke tanah, ia berdoa: “Wahai
Dzat yang telah menciptakan aku, ampuni aku, jangan
hukum aku. Aku telah menantang agama dan
jalanMu. Namun kulakukan itu karena kebodohanku,
sebagaimana syaikhku melakukannya karena kesombongan. Kau telah mengampuninya. Kini
ampunilah aku. Aku tunduk dan menerima agama
yang benar.”
Allah memungkinkan syaikh , yang memang belum
terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia dan
murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu berkata: “Kau telah
membuatku malu. Ajari aku Islam agar aku dapat
bertemu dengan Tuhanku melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan
para muridnya menangis haru, wanita itu hembuskan
nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak lebih dari setetes air di samudera khayal, telah berpulang ke
samudera sejati. Syaikh itu pun datang ke Baghdad
lalu menundukkan lehernya dengan penuh hormat di
bawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia, banyak murid
beliau meraih kedudukan penting, dan banyak
penguasa menjadi muridnya. Ia menugaskan
sebagian muridnya untuk menjadi wakilnya sesuai
dengan kemampuan, kualitas batin dan tingkatan
ruhaninya masing-masing. Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani dan sebagian lainnya menjadi
hakim. Bahkan, tidak sedikit yang diangkat sebagai
gubernur dan raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang fakir yang telah
mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani selama empat puluh tahun. Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa murid yang jauh lebih
muda darinya dan belum lama mengabdi, telah
ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk
menempati jabatan penting. Suatu hari ia menghadap
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengajukan
permohonan. Ia telah mengabdi kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini usianya semakin tua.
Mengapa ia belum juga ditunjuk untuk menempati pos
penting seperti murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya, satu
utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menatap pembantunya itu dan berkata: “Apakah
engkau menyukai jabatan ini? Apakah engkau
memenuhi syarat?” Pelayan itu mengangguk
kegirangan.
Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya: “Aku
akan mengangkatmu sebagai raja di sana dengan
syarat kau harus berjanji untuk memberikan
kepadaku separuh dari keuntungan dan kekayaan
yang kau peroleh selama berkuasa.” Tentu saja
pelayan itu menyanggupinya. Orang tua itu bekerja di rumah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus
mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah
berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ia
kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di
sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi bersama para
utusan itu ke India sebagai raja mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia dapatkan
kekayaan berlimpah, ia bangun banyak istana untuk
dirinya sendiri, ia menikah dan punya seorang anak
laki-laki. Ia sepenuhnya telah melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji yang diucapkannya.
Pada suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani akan datang mengunjunginya.
Ia bersiap-siap menyambut kedatangan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Setelah upacara, prosesi dan pesta
yang megah, mereka berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan kesepakatan
mereka, yaitu bahwa ia harus memberikan separuh
dari semua keuntungan yang dikumpulkannya
selama berkuasa. Maharaja itu jengkel ketika
diingatkan akan janjinya. Kendati demikian, ia berjanji
esok lusa ia akan menyerahkan separuh dari semua kekayaannya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah seiring bertambahnya
kekayaan tak membiarkannya membuat daftar
kekayaan dengan jujur. Tepat pada hari yang
direncanakan, ia membawa daftar kekayaanya itu
yang menyerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al- Jailani. Meski daftar itu mencantumkan banyak istana
dan kekayaan, semua itu hanyalah sebagian kecil dari
kekayaan yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampak puas dengan
bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berkata: “Kudengar kau juga memiliki seorang anak laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada dua,
tentu akan kuberikan salah seorangnya kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat
membaginya.” Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam
tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kau
akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya lagi
menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. Sang ayah yang ketakutan, menghunus belatinya dan
kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata terpejam.
Ketika membuka matanya, ternyata ia sedang
mengaduk makanan di kuali besar dengan sendok
kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat sendiri, kau belum siap
menjadi wakilku. Kau belum memberikan segalanya,
termasuk dirimu, kepadaku.”
Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan
sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk
Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia
Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya
untuk mengabdikan diri kepada umat manusia. Tiga
kali dalam seminggu beliau berceramah di hadapan ribuan orang.
Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir, hadits,
tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat Dzuhur, beliau
mengisi waktu dengan memberi nasehat kepada
umat, baik pengemis maupun raja, yang datang dari
belahan dunia. Sebelum Maghrib baik ketika hujan maupun cerah, beliau telusuri jalan-jalan untuk
membagikan roti kepada kaum fakir.
Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau
hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat
Maghrib dan tak pernah sendirian. Para pelayan
beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya kepada setiap orang yang lewat apakah mereka lapar dan
meminta mereka untuk makan bersama Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari Sabtu
tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166 M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di
Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah menjadi
tempat ziarah penting bagi kaum Muslimin, dan
khususnya kaum sufi.
Ketika beliau sakit, putra beliau, Abdul Aziz
melihatnya meringis menahan sakit yang luar biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di atas
tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.” Kata beliau
kepada putranya. “Aku telah tengah berubah terus
menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan
bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya, kecuali
hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada bagian ini
karena ia bersama Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata kepada
beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang dapat
kuamalkan setelah ayah wafat.” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah
hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah, dan
sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya. Jangan
berharap atau menghendaki sesuatupun dari selain
Allah. Bertawakallah hanya kepada Allah, bersatulah
denganNya, bersatulah denganNya.” Sebelum wafat, beliau memandangi sekeliling dan
berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka
yang tak pernah kalian lihat telah datang kepadaku.
Berikan ruang dan bersikap santunlah kepada
mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian melihatku
bersama kalian, padahal aku bersama yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut,
aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah
yang telah menemaniku dan bersikap baik
kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah. Segala puji bagi
Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala puji
bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang mengalahkan
hambaNya dengan kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau
memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.