Kamis, 18 Juni 2015

Dia Cahaya dan Kegelapanku


Penulis : Kyai Nur
Hanny menutup Al Qur’an yang telah di hafalnya di luar kepala. Betapa ayat-ayat ini apabila dia di uji dengan tiga kalimat saja, maka ia akan bisa melanjutkan. Namun hatinya hampa, walau ia telah menghapal Alquran itu, tapi ayat-ayat yang menyejukkan itu seakan mandeg di tenggorokannya, tak bisa menyentuh hatinya, mengapa?

Yah telinga hatinya terlalu budeg oleh cinta, cinta yang menghangus setiap inci dari hati, cinta yang merenggut setiap waktunya, menghancur leburkan indahnya mimpi, yah mimpi untuk hidup bersama dengan pujaan hatinya. IRSAD.

Rasanya baru kemaren, hari-hari penuh bunga, udara yang panas seakan bersahabat, tak ada kegundahan, tak ada risau tak ada kekawatiran, dan tak ada kebahagiaan melampaui hari-harinya bersama Irsad. Pemuda pujaan hatinya.

Awalnya lima tahun yang lalu, di pondok milik abahnya ini datang santri baru, seorang pemuda gagah, wajahnya ganteng, santun, tutur katanya halus, kesempurnaan seorang pemuda dambaan gadis-gadis. Apalagi ternyata di ketahui pemuda itu teramat cerdas, baru sebulan mengaji pemuda itu telah di pasrahi mengajar, karena limpat akalnya, bahkan akhirnya mengajar santri lelaki dan perempuan. Dan karenanya banyak santri perempuan yang jatuh hati pada pemuda itu termasuk Hanny, sebagai putri kyai Fahrur pengasuh pesantren ini, pemuda itu adalah Irsad.
Hanny, gadis usia 18 tahun itu sibuk dengan dunianya sendiri, dunia baru yang penuh tumbuhan bunga yang menjalar, melilit dan menguasai hati, tumbuhan itu bernama cinta, cinta yang berdaun rasa-rasa baru yang belum pernah ia kenali, belantara hatinya seakan di penuhi cahaya warna-warni.
Karena dia adalah putri yang empunya pesantren, maka dia bebas ke tempat santri putra, dan dia bebas ke kamarnya Irsad, dengan alasan menanyakan pelajaran. Padahal sebenarnya hanya untuk melihat dari dekat pujaan hatinya. Hanny mengikuti Irsad masuk kamar, pemuda itu meletakkan kitab yang habis di pakai mengajar.

“Ada apa neng…?” tanya Irsad, sambil duduk di lantai. Neng adalah panggilan putri kyai, atau kalau lelaki gus untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Ini kang, keterangan tentang haid tadi, aku tak paham…siklusnya bagaimana?”
Irsad kemudian menjelaskan dengan detail, tentang haid dan siklusnya waktunya, tapi sebenarnya Irsad juga tau kalau pertanyaan yang di ajukan gadis di depannya ini hanyalah alasan agar bisa dekat dengannya, dan Irsad juga tau kalau gadis ini mencintainya.
“Sudah paham?” tanyanya setelah menjelaskan.
“Iya sudah, tapi yang aku heran kenapa kok hanya perempuan yang haid sementara lelaki tidak?”
“Wah kalau itu pertanyaannya, bertanyanya bukan padaku, tapi pada dokter boyke.”
“Kok begitu?”
“Kalau aku hanya membahas luarnya saja dari sisi agama, misalkan karena perempuan haid ini, maka jadi salah satu alasan lelaki boleh beristri dari satu.”
“Wah itu tak adil.!!” Hanny merengut, cuping hidungnya kembang kempis.
“ee, jangan bilang begitu, aturan itu telah dimaktub dalam Alquran, kalau bilang itu tak adil berarti mengatakan Alquran tak adil, juga berarti Alloh tak adil, karena Alquran itu kalamulloh, Alloh itu telah ada sebelum manusia di ciptakan, Dia yang menciptakan, makanya Dia yang lebih tau karakter manusia, daripada manusia itu sendiri, Dia yang lebih tau yang terbaik bagi manusia, kalau manusia membuat aturan sendiri, atau menyalahkan aturan Alloh, yakinlah bahwa manusia itu sesat, sok pinter, tapi malah menunjukkan nyata kebodohannya, belajar Alquran itu jangan setengah-setengah, dan perlu di ingat itu kalamulloh, dari Alloh, jangan sampai ada di satu ayat yang sesui dengan nafsu kita, kita getol dan semangat menggembar-gemborkan, ada yang bertentangan dengan nafsu kita, e…kita menyembunyikannya, bahkan malah membantah dan menyanggahnya.” kata Irsad panjang lebar, sampai Hanny terkantuk-kantuk.
“Wah kalau begitu kang Irsad nanti mau punya istri banyak ya?” tanya Hanny.
“Kalau itu, aku tak tau, lawong pacar aja aku tak punya…”
“Kalau kriteria kang Irsad gadis yang seperti apa sih, yang ada di benak kang Irsad.?”
“Wah kalau secara pribadi ya jelas aku tak tau, tapi aku ikuti aja sabda Nabi, biasanya perempuan di nikah itu ada karena empat perkara, satu karena nasabnya, dua karena kayanya, tiga karena kecantikannya, keempat karena agamanya, dan aku menggaris bawahi, aku mengharap punya istri yang hafal Alquran…”
“Wah kalau aku hafal Alquran, apakah aku bisa jadi istrinya Kang Irsad?”
“Bisa jadi…, kamu ingin menjadi istriku, hafalkan aja Alquran…” kata Irsad tanpa ekpresi, seakan kehidupan suami istri itu hal yang biasa tak perlu di besar-besarkan, itu juga membuat Hanny tak merasa canggung.
“Jadi kalau mau jadi istri kang Irsad harus hafal Alquran?”.tanya Hanny seakan menawar, kenapa gak hafal fatehah aja, atau surat ikhlas.
“Harus!, kamu cinta padaku?” tanya Irsad, pertanyaan yang tanpa di iringi perasaan sama sekali. Tak seperti pertanyaan sepasang kekasih, dengan luapan perasaan dan ribuan getaran listrik, tapi lebih mirip pertanyaan seorang yang membicarakan harga cabe atau bawang di pasar, sehingga Hanny pun merasa biasa, walau di lubuk hatinya yang terdalam terasa ada kilatan-kilatan listrik yang berpijaran.
“Iya aku mencintai kang Irsad..” plong terasa, seperti membuka botol hati, plop.! Ketika terbuka angin segar pun masuk.
“Kalau kamu mencintaiku, hafalkan aja Alquran…!,”
“Jadi…jadi…aku nanti bisa menjadi istrimu kang?”
“Kita lihat aja kamu bisa hafal Alquran enggak…?”
“Pasti…pasti kang aku akan menghafalkannya
…” sejak saat itu semangat Hanny menghapal Alquran terlecut, seperti kuda yang di lepas di lapangan pacuan, seperti orang yang di kejar anjing gila.
Syukur pondok punya Abahnya ini khusus bagi santri penghafal Alquran, sehingga santriwati yang telah hafal pun dengan senang hati membimbingnya. Pokoknya hari-hari, Hanny lalui dengan menghafal, dan selalu kemana-mana Alquran ada ditangannya. Dan tak lupa dia pergi ke kamar Irsad untuk memperdengarkan hafalannya sementara Irsad menyimak.
“Bagaimana kang…?” kata Hanny setelah selesai di simak,
“Bagus…aku bangga padamu, karena tiga bulan sudah mendapat sepuluh jus…di samping kamu cantik, kamu juga cerdas…” kata Irsad memuji.

Hanny tersenyum, pipinya memerah, dan dia pandang pujaan hatinya ini lekat-lekat, seakan menyelami setiap lekuk wajah kekasihnya ini. Yang semakin dia kagum dan rindu bila sehari saja tak bertemu, ah aku harus cepat hafal, agar bisa selalu bersamanya. Maka Hanny pun makin giat saja menghafal, bahkan ketika malam-malam orang pada tidur, ia duduk sendiri menghafal Alquran, biasanya dia akan tidur, karena tak kuasa lagi matanya terjaga. Maka selama tujuh bulan sepuluh hari, Hanny pun hafal Alquran, di masa terakhirnya itu kembali dia minta di simak hafalannya oleh Irsad, dan dalam hatinya ia ingin nanti setelah menghafal ia mau menyentuh tangan kekasihnya, atau mencium tangannya, atau kenapa tak mencium pipinya sekalian, ah setan memang mau merongrong hatinya, sehingga timbul bisikan-bisikan yang tak bermutu.

Kini Hanny telah di simak hafalannya oleh Irsad. Sampai terakhir surat Annas, Irsad menutup Alquran yang di pegangnya.
“Bagus sekali… Hapalanmu sangat sempurna.” kata Irsad memuji.
“Kang, aku ini pacarmu enggak sih kang…” kata Hanny.
“Lho, la menurutmu kamu itu apaku?” jawab Irsad sembari meletakkan Alquran di atas lemari pakaian.
“ya pacarku…”jawab Hanny spontan.
“ya berarti pacarmu…”
“Tapi, kenapa kang Irsad tak pernah bersikap mesra terhadapku?, megang tangan kek, memeluk, mencium, pokoknya apalah yang mesra, masak aku sudah hafal Alquran gini, tak di kasih hadiah apa-apa? Kita kayaknya tak pacaran aja, mbok ya di cium atau gimana? Seperti di sinetron di televisi itu…” Hanny merajuk,
“eh-eh, jangan begitu Han, itu tak boleh, apasih enaknya ciuman? Paling enak di bayangkan, juga tidak mengenyangkan, tak sesuai dengan noda yang kita dapat, setelah berciuman mata hati akan buta, dan terbukanya pintu syaitan untuk menjerumuskan pada dosa yang lebih besar, setelah terjerumus sekali, setan akan membujuk kita agar terjerumus dua kali, dan trilyunan kali, kalau sudah jauh terjerumus maka akan terasa berat untuk kembali.”
“Apalagi sekarang kamu telah hafal Alquran, maka seharusnya kamu lebih hati-hati dalam berprilaku, ciuman pelukan nanti kalau kita sudah jadi suami istri, kita boleh melakukan apa saja, jangan biarkan syaitan menguasai hatimu, dan kamu di perbudak nafsumu sendiri.”
“Tapi kang…minta sedikiiit aja, kalau tak boleh ya biarkan aku memegang tanganmu, gimana boleh kan…?” kata Hanny masih merajuk.
“Gini aja, biar aku memegang kusen pintu, nanti setelah ku lepas, kamu yang giliran megang kusen pintu, gimana?” Irsad pengen ketawa juga ketika harus mengatakan ini.
“ah mana ada aturan pacaran kayak gitu?” Hanny mbesengut, walau pengen ketawa.
“Atau aku akan mencium…. Apa ya? hm..mencium tembok, setelah itu kamu cium temboknya…bagaimana?”
“wah, ya udahlah kalau memang tak mau, ya udah..” Hanny berdiri, dan menjejakkan kakinya ke lantai, lalu melangkah pergi tanpa salam lagi.
Tapi besoknya tetep saja gadis cantik ini datang ke kamar Irsad, wajahnya tak mbesengut lagi.
“Han…, sebenarnya tak baik kamu terus-terusan datang ke kamar ini, tiap hari datang, apa kata santri, pasti mereka berprasangka yang tidak-tidak.” kata Irsad lembut dan di pelankan.
“Jadi kang Irsad tak suka aku kesini?” kata Hanny agak sinis.
“lho yang nggak suka itu siapa, ya pasti suka, tapi kan tetap mendengar kata orang, tidak terus-terusan begini, kamu cinta tidak kepadaku?”
“Udah tau aku cinta, kenapa masih nanya?” Hanny bibirnya di lancipkan.
“Kalau cinta kamu pasti nurut perkataanku…”
“Lho aku sudah sampai hafal Alquran gini masak di bilang tak nurut”.
“Itu kan keharusan kamu, syarat jadi istriku…?”
“Lalu mau kang Irsad apa?”
“Aku mau kamu mondok di Pare Kediri, dan besok harus berangkat”.
“Apa kang?, apa tak salah, jadi kamu menginginkan aku pisah darimu, aku tak sanggup kang, kan sudah sering sama abah aku di suruh mondok tapi aku pulang lagi, aku tak kuat pisah darimu kang, jangan kau siksa aku seperti itu kang….” air mata gadis itu tak bisa di bendung, bibirnya peletat peletot menahan tangis.
“Ini adalah tes bagimu, cinta enggak kamu padaku, nah akan terbukti.”
Hanny sudah tak tahan, maka dia berlari, dan masuk kamarnya sendiri, menangis, bagaimana dia sanggup terpisah dari orang yang di cintainya, selama ini saja tak bertemu sehari sudah tersiksa setengah mati. Tapi besoknya sore hari, Hanny pergi juga. Dia pamitan pada Irsad.
“Aku pergi untuk memenuhi permintaanmu, apakah kamu masih tak mau menciumku kang? Tanda perpisahan kita?” kata Hanny, air matanya meleleh.
“Pergilah, biarkan cintamu suci.” kata Irsad tanpa ekspresi.
Hani pun pergi, ke pesantren di pare kediri, di sana dia tahan segala kerinduan yang merongrong jiwa dan tubuhnya, sehingga dia makin kurus saja. Namun dia tetap berusaha bertahan. Sampai satu tahun dalam tekanan rindu. Kali ini dia akan pulang karena di pesantrennya akan ada wisuda tahfidulquran, yaitu pengangkatan santri yang baru hafal Alquran, tapi yang lebih penting adalah Hanny akan bertemu pujaan hatinya, kali ini tak akan di tawar-tawar lagi, ia akan menubruk, memeluk, menciumi pujaan hatinya, biar-biar aja kalau mau marah. Tekad Hanny.
Maka ketika sampai di rumah, setelah meletakkan tasnya dia langsung berlari menuju ke kamar Irsad, namun sampai di kamar Irsad dia kaget, karena kamarnya terkunci gembok, lalu dia bertanya pada santri putra dan betapa herannya dia karena kata santri itu Irsad sudah sembilan bulan boyongan dari pondok. Ah ada apa ini?, Hanny pontang-panting tanya sana-sini tapi, jawabannya sama, memang Irsad telah pergi keluar dari pesantren tanpa memberitaukan sebab musababnya.
Hanny yang kebingungan karena selama ini memang tak tau asal muasal dari daerah mana si Irsad kecuali kata daerah Pekalongan. Dia kemudian mencari dokumen Irsad di kantor dan menemukan alamat rumahnya Pekalongan daerah Bligo Buaran. Besoknya dia mengajak salah seorang santri putri menemaninya ke daerah yang tertera di pendaftaran Irsad pertama kali yaitu daerah Bligo, Buaran, Pekalongan.

Sampai di daerah yang di tuju, Hanny segera tanya sana-sini, menunjukkan ciri-ciri Irsad, semua orang yang di tanya sama sekali tak tau, sampai abang becak yang mengayuh becaknya mengitari desa Bligo mengantar dua gadis ini mengeluh. Apa lagi Hanny yang punya masalah, pencariannya sia-sia. Santri perempuan bernama Nurul, yang di ajaknya kasihan. Lalu menghiburnya.
“Sudahlah ning… Nyatanya kita sudah mencari tapi, hasilnya tak ada, mungkin ini alamat fiktifnya saja, alamat sebenarnya tak tau.”
“Kenapa kamu berkata begitu mbak Nur?”
“Ya nyatanya kita sudah mencari hampir seharian tapi tak ada hasilnya…”
“Aku telah memenuhi semua syaratnya, juga aku telah mau mondok atas permintaannya., tapi apa dia tega meninggalkanku? Sungguh tak masuk akal.”
“Bukan kamu saja neng?”
“Apa maksudmu Nur?”
“Dia juga berjanji padaku,”
“Apa?” Hanny kaget.

“Ceritanya begini, waktu itu aku bareng dengannya di sebuah mobil angkot. Dia bertanya tentang hafalan Alquranku, dan berapa tahun aku mondok? Lalu ku jawab aku mondok sudah tiga tahun dan hafalanku baru dapat empat juz, lalu dia mengatakan bahwa dirinya mencari calon istri yang hafal Alquran. Aku di tanya apakah mau aku jadi calonnya? Ya jelas maulah pemuda setampan dia, siapa gadis yang tak mau, tapi dia mengatakan padaku syaratnya harus cepat hafal Alquran. Maka akupun bersemangat, apalagi setiap bertemu dia selalu menanyakan hafalanku, aku pun makin semangat, sehingga tahun ini aku dapat mengikuti wisuda. Sebenarnya pertama kali tau dia meninggalkan pondok aku teramat kecewa, tapi ternyata bukan aku saja, tahun ini adalah wisudawati terbanyak sejak pondok berdiri, ternyata hampir semua terlecut semangatnya karena janji kang Irsad, dia menginginkan seorang istri yang hafal Alquran, apakah kita perempuan-perempuan ini yang bodoh ataukah kang Irsad yang terlalu pintar. Tapi di akui atau tidak, yang di lakukan kang Irsad banyak manfaatnya, tak taulah benar-salahnya, tapi dia telah menjadi sebab aku dapat hafal Alquran dengan cepat, walau aku sakit hati, tapi memang dia sepengetahuanku tak pernah mengucap janji padaku, untuk menikahiku, jadi aku tak menyalahkannya, aku hanya di butakan harapan-harapan, yang ku sadari sebenarnya kosong, tapi harapan itu telah membimbing semangatku hingga akhirnya aku hafal Alquran. Dan ku teliti dari kaca mataku tak ada yang salah. Tak ada perbuatan yang menuju kemaksiatan. Dan aku terima ikhlas.”

Hanny menitikkan airmata. Tapi tak tau airmata kesedihannya karena di tinggalkan atau airmata rindu atau air mata sakit hati, ataukah kekaguman, ataukah haru. Karena semua bertumpuk jadi satu seperti mengitik-itik hatinya supaya menangis, maka dia tak tau air matanya ini untuk yang perasaan bagaimana. Ataukah semua perasaannya telah terwakili.
“Ayo mbak Nurul kita pulang…” itulah yang di ucapkannya, memang kata Nurul benar, Irsad juga tak pernah berjanji untuk menikahinya, besarnya cinta telah menggelapkan hatinya. Sehingga seakan-akan Irsad telah menjadi miliknya, dia menguasainya, padahal tidak sama sekali. Ah piciknya…! Pandangan perempuan yang di kuasai cinta, benar-benar menuruti perasaan saja. Hanny menggenggam tangan Nurul, seakan mereka pasukan yang kalah perang dan berusaha saling menguatkan.

Hanny makin sedih ketika dia masuk kamar Irsad, dan kenangan itu seperti baru kemaren, dan masih basah, bekas Irsad duduk seakan masih hangat, belum lama di tinggalkan, wangi tubuhnya juga seakan menempel diudara kamar, Hanny menghisapnya kuat-kuat dan seakan tak mau melepas wangi itu lagi, dilihatnya Alquran yang dulu selalu di pakai menyimaknya saat menghafal, dia mengambilnya dan mencium, tiba-tiba sebuah kertas putih jatuh. Dan sebaris tulisan indah.
“SEMOGA KITA BISA MENJADI KELUARGA DI SURGA, DAN KEBAHAGIAAN LEBIH HAKIKI. KEKAL SELAMANYA”